Gejala hooliganisme pada sepakbola
Hooligan, sebagaimana dikemukakan oleh Jonathan Crowther (dalam Oxford Advanced Learner’s Dictionary, 1995: 572), memiliki makna sebagai ”seorang sosok pemuda yang melakukan kekerasan dan membuat keributan dalam wilayah-wilayah publik, biasanya dijalankan dengan sekelompok orang”. Apabila hooligan dilekatkan dalam sepakbola, maka artinya adalah kalangan pendukung yang berperilaku dengan mengerahkan kekerasan selama atau setelah pertandingan sepakbola. Jadi, hooligan berlaku untuk pendukung kesebalasan manapun yang membuat kekacauan.
Pertanyaan yang harus dijawab adalah: Kenapa ada fenomena hooliganisme? Bukankah gejala keributan yang digulirkan hooligan telah menjadi kejadian rutin yang menghiasi setiap pertandingan sepakbola? Berbagai kota yang memiliki tim kesebelasan sepakbola mengidap sindrom hooliganisme. Paling tidak gejala ini dapat dilihat ketika para pendukung sepakbola memenuhi jalan-jalan protokol sebelum dan setelah pertandingan.
Secara bergerombolan, kaum hooligan tersebut dengan naik kendaraan roda dua dan truk terbuka, mengeluarkan sumpah serapah, berteriakteriak, membunyikan tetabuhan, dan meluapkan kegaduhan. Tragisnya, pihak kepolisian hanya mampu mendiamkan atau tidak berbuat apa pun.
Mengalami keterpinggiran
Mengapa, hooliganisme dan watak perilaku ”perbonekan” gampang meledak? Bagi kalangan penganut Marxisme, hooligan merupakan sekelompok masyarakat yang mengalami keterpinggiran dalam struktur sosial. Mereka adalah sekumpulan individu yang dicengkeram kemiskinan secara material, sehingga membentuk suatu kelas sosial secara spesifik yang mudah dibedakan dari individu-individu yang mendiami kelas sosial yang mapan.
Jika mereka yang terpinggirkan ini melakukan kerusuhan, atau setidaknya menciptakan kegaduhan, tidak lebih merupakan ekspresi atau luapan kemarahan yang selama ini sulit untuk menemukan kanal peletupnya.
Penilaian gaya Marxian itu belum mampu menjelaskan secara memadai dari perspektif psikologi massa. Bahkan terdapat kesan melakukan romantisasi terhadap situasi sosial berbasiskan kesenjangan dan pertarungan kelas di dalamnya. Sebab, banyak pula orang-orang yang terpinggirkan dan juga dimiskinkan, namun mereka tidak pernah menciptakan kerusuhan.
Apakah mereka takut dan juga jadi pengecut sehingga tidak memiliki nyali untuk membikin ribut? Ataukah mereka yang memilih membungkam mulut dan membatasi keliaran tubuh sendiri itu terperangkap dalam hegemoni (tatanan yang dianggap normal) dari kelas dominan yang sedang berkuasa?
Jawabannya tidak segampang dengan memberikan uraian dengan berdasarkan perhitungan struktur kelaskelas sosial sejenis itu. Sekalipun hooligan memiliki identitas sebagai sekelompok pendukung dan penggemar fanatis, namun dari perilaku kolektifnya dapat dimasukkan dalam kategori kerumunan (crowd), yakni sekelompok orang yang bersifat temporer yang memberikan reaksi secara bersama- sama pada rangsangan (stimuli) tertentu. Sejumlah karakteristik yang terdapat pada perilaku kerumunan, dan hooligan dapat dimasukkan ke dalamnya, adalah:
Pertama, anonimitas yang bermakna bahwa karena jumlah mereka besar dan bersifat sementara, maka interaksi yang terjadi cenderung melenyapkan individualitas sekalipun mereka saling mengenal pada saat mengalami perjumpaan.
Kedua, impersonalitas yang bermakna bahwa kepribadian mudah lenyap akibat direduksi dalam perilaku kelompok yang menganggap kolektivitas mereka adalah bersifat baik sedangkan pihak lain berwatak sangat buruk. Ketiga, sugestibilitas yang berarti situasi kerumunan pada dasarnya memang tidak terstruktur, sehingga tidak ada pemimpin dan pola-pola perilaku yang dapat dijadikan acuan bagi para anggotanya. Keempat, mudah melakukan penularan atau memberikan pengaruh buruk akibat luapan emosional dari satu anggota kepada anggota lainnya (Paul B Horton dan Chester L Hunt, Sociology, 1964: 404- 407).
Sehingga, dapat diberikan konklusi bahwa hooliganisme adalah keberanian yang tercipta dalam situasi gerombolan. Tidak mungkin segelintir individu yang memiliki personalitas dan identitas diri yang penuh kesadaran gampang diledakkan kegeraman emosionalnya.
Ini belum lagi diperparah dengan perilaku aparat keamanan yang tidak tegas dengan alasan kekurangan jumlah personel. Kalau tidak demikian, sebaliknya, aparat keamanan melakukan tindakan pengamanan berlebihan (eksesif), yang justru mengarah pada sebentuk penganiayaan. Eskalasi kemarahan dari pelaku hooliganisme pun semakin mendaki ke titik perpuncakan.
Dimensi relijius
Apabila dievaluasi dalam perspektif olahraga, kemunculan hooliganisme juga akibat dunia olahraga, terutama sepakbola, juga memiliki dimensidimensi relijius. Gejala ini dikemukakan Varda Burstyn pada esainya yang berjudul ”Sport as Secular Sacrament” (dalam D Stanley Eitzen [ed.], Sport in Contemporary Society, 2001: 10-19). Menurut Burstyn, budaya olahraga melibatkan interaksi di antara dua level pengalaman berbeda yang saling berkaitan erat.
Pertama, pengalaman personaleksistensial dari para olahragawan yang sedang terlibat dalam perlombaan. Kedua, pengalaman simbolikideologis dari orang-orang yang posisinya berada di luar arena pertandingan. Jalinan yang terbentuk adalah kenikmatan dan kedukaan yang dialami khalayak merupakan identifikasi mereka terhadap apa yang dialami olahragawan. Dalam momentum demikian, mudah mencuat pula apa yang disebut dengan ”kesukacitaan karena kemenangan, dan kepedihan akibat kekalahan”.
Dimensi relijius yang lebih menampakkan watak sekular itu jelas sekali terlihat dalam dunia persepakbolaan kita, yakni: Pertama, kalangan pemain sepakbola telah dijadikan simbol yang mampu menyalurkan aspirasi yang selama ini diredam dan tidak mampu disampaikan dalam domain sosial.
Kedua, pemain sepakbola dan kesebelasan yang diidolakan diposisikan sebagai peletup yang mampu meluapkan hasrat personal yang tidak dapat ditemukan dalam sosok-sosok lainnya dalam dunia kekuasaan dan kemasyarakatan. Apalagi dunia perpolitikan yang memberikan banyak janji tentang perbaikan sosial dan peningkatan taraf ekonomi, ternyata, penuh kebohongan dan sangat mengecewakan.
Tidak perlu heran dan mengalami ketercengangan yang berkepanjangan, jika kesebelasan kesayangan yang didukung mengalami kemenangan, para supporters (pendukung) itu pun berlonjak-lonjak kegirangan dan dengan cepat menciptakan kegaduhan. Sebaliknya, jika kekalahan yang harus menimpa kesebelasan tercinta, kerusuhan pun mudah merebak bagaikan amuk gelombang yang sulit dihentikan.
Peristiwa-peristiwa ini semakin diartikulasikan secara mendalam oleh penamaan yang diberikan para supporter sepakbola terhadap diri mereka sendiri dalam mendukung kesebelasan masing-masing kota yang terkesan ”sangar”, dan bahkan ”menakutkan”.
Simaklah, sebagai contoh konkret, kehadiran Laskar Pasopati untuk pendukung Persis Solo, Laskar Kalinyamat untuk supporter Persijap Jepara, Panser Biru bagi penggemar PSIS Semarang, dan The Viking untuk Persib Bandung. Bukankah penamaan laskar-laskar semacam itu sedari awal telah memberikan kesan yang bercorak militeristik dan siap untuk berperang?
Kesumpekan sosial yang selama ini menerkam dan menindas para penggemar fanatis sepakbola begitu mudah diluapkan ketika mereka menyaksikan sosok-sosok pemain yang diidolakan tampil di lapangan hijau.
Syair lagu dan hentakan tetabuhan tidak mampu meredam keberingasan, namun justru semakin memicu adrenalin kemarahan untuk mendapatkan target ledakan. Semua ini terjadi akibat kemiskinan dan masa depan yang penuh ketidakpastian menjadi hantu yang sulit dienyahkan. Akhirnya, sepakbola dijadikan sebagai sarana pelampiasankemarahan. Itulah gejala hooliganisme yang telah menjadi bagian integral kultur persepakbolaan kita
0 Responses to "Gejala hooliganisme pada sepakbola"
Leave A Comment :